Mengapa saya harus percayakan pendidikan anak-anak kepada orang lain, yang saya sendiri belum tahu kompetensinya? Maka, saya sendiri yang akan menjadi pendidik mereka.
Sepenggal dari cerita teman saya itu terus berputar-putar di otak. Sudah waktunya memang saya berfikir serius tentang pendidikan anak. Namun belum pernah seserius ini.
Pertanyaannya sederhana. Model pendidikan apa yang cocok untuk anak saya?
Banyak pilihannya. Dari sekolah negeri, negeri berbasis agama, swasta, swasta berbasis agama, sampai homeschooling. Dengan segala macam embel-embelnya. Terpadu, internasional, global, dll. Begitu juga lembaga pendidikan juga tidak kalah meriah. Seolah-olah, semuanya berlomba untuk menjadikan anak pintar, percaya diri, maju, berprestasi, dan segala macam efek baik lainnya.
Saya tidak akan mengatakan yang satu lebih baik dari yang lain. Karena setiap anak dan keluarga memiliki kondisi yang berbeda-beda. Apa yang mengusik saya adalah, bagaimana kita memandang pendidikan anak saat ini.
Dulu, ketika saya yang menjadi anak-anak, pendidikan formal di sekolah adalah keharusan. Orang tua saya tidak lulus SD, dan hanya bisa membaca-menulis-menghitung standar. Jangan tanyakan soal integral dan derivatif.
Dengan saya disekolahkan formal, pendidikan di-outsource-kan ke orang yang kompetensinya lebih tinggi. Jelas, secara eksplisit, pendidikan guru-guru saya pasti lebih tinggi. Soal akhlaq dan perilaku, tidak banyak yang perlu dikhawatirkan. Jaman saya, anak-anak masih aman untuk “diliarkan”.
Dulu, umumnya hanya ayah saja yang berkarir. Maka alasan untuk menyekolahkan anak adalah untuk mendapat ilmu, dan justifikasi legal tentunya. Bukan sebagai sekalian-penitipan-anak.
Jaman sudah berubah. Dengan pendidikan tinggi yang diperoleh pada jaman saya, membuat sayang jika tidak “dimanfaatkan”. Jadilah menukarkan waktu, tenaga, ilmu ke dunia industri yang mampu memberi imbalan “layak”. Semakin banyak yang ditukarkan, semakin banyak imbalannya. Karir pun juga sudah bukan dominasi laki-laki. Perempuan, dengan alasan emansipasi, juga ikut memeriahkan percaturan karir.
Akibatnya, banyak yang kemudian menjadi orang tua dua-duanya berkarir. Pengasuhan anak dioutsourcekan. Pendidikan anak juga tidak mau kalah. Biar aman, yang full day sekalian. Orang tuanya? ya tadi itu, menukarkan waktu, tenaga, ilmu untuk imbalan layak sehingga bisa bayar outsourcenya.
Tidak serta merta mengatakan bahwa ayah-ibu berkarir itu buruk. Semuanya kembali kepada bagaimana “memanage”.
Di jaman yang serba terbuka sekarang, akses informasi terbuka tanpa batas. Anak-anak, bahkan balita, sudah terbiasa mengoperasikan gadget. Isi tayangan televisi pun sudah kacau. Terlalu banyak hal-hal negatif yang terekspos. Entah karena banyak kejadian negatif maka terekspos, atau karena terekspos menimbulkan banyak kejadian negatif. Tawuran, genk, cabe-cabean hanyalah sebagian kecil “racun” untuk anak-anak.
Informasi positif dan negatif semua bertebaran tak terbendung. Ilmu dan maksiat tersedia. Tinggal mau pilih mana.
Pada masa ini, akhlaq dan perilaku menjadi penentu “keselamatan”. Sementara ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari mana saja. Tidak hanya dari sekolah formal.
Lantas, relakah bila menyerahkan pengasuhan dan pendidikan (bukan sekedar transfer pengetahuan) ke orang lain?
Ditambah dengan kualitas pergaulan yang makin tidak jelas. Eits, jangan pernah salahkan lingkungan, TV, internet jika anak jadi “gak jelas”. Orang tuanya lah yang berperan membentuk mereka.
Mungkin sudah waktunya cara “menyekolahkan” anak berubah. Mungkin perlu lebih banyak kedekatan dengan anak, agar mereka tidak menjadi yatim piatu saat orangtuanya masih komplit.
“Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan pada zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian.” (Umar bin Khoththob ra)