Yakin, Sudah Ikhlas?

Tidaklah aku melihat orang yang ingin dikenal, melainkan lemah agamanya, dan terbuka aibnya.

Kalimat itu yang pertama kali saya baca. Seperti biasa, saya selalu membuka acak sebuat buku sebelum memutuskan untuk mengembalikan lagi ke rak atau membacanya.

Kalimat itu, sukses menusuk saya yang tanpa pertahanan sama sekali. Dan selebihnya, buku ini memporak-porandakan pemahaman lawas akan hakikat ikhlas. Seperti braso, meluluhkan kerak-kerak karat.

Inilah buku yang membuat saya merenung berhari-hari. Bisa jadi sampai sekarang. Energi ikhlas.

Semula saya kira ikhlas hanyalah soal memberi-tanpa-pamrih. Namun ternyata ikhlas itu soal niat, dalam hal apapun. Niat hanya karena Allah. Dan hanya Allah yang tahu. Malaikat Roqib Atit pun tak tahu. Tidak juga saya sebagai pelaku.

Mengapa saya juga tidak tahu? Karena riya, si penyakit ikhlas itu bisa sangat halus. Lebih halus dari langkah semut.

Saya pun menelisik lagi apa yang sudah saya lakukan. Adakah semua niatnya hanya untuk Allah? Atau ternyata ada maksud ‘sampingan’? Sungguh, mengingatnya saja membuat takut. Bagaimana jika semua perbuatan saya ternyata ada maksud ‘sampingan’? Ingin dipuji orang misalnya.

Gue pakai kerudung biar kelihatan cantik. Kerudung syar’i yang kayak dipakai artis-artis dong biar tampak alim namun tetap modis. Menghafal Al-Qur’an biar dibilang hafidzah. Selfie pas acara kajian biar orang tahu kalo gue tuh aktivis. Dan banyak lagi sejenisnya. ASTAGHFIRULLAH!

Padahal sudah disampaikan hadist shohih tentang orang-orang yang beramal sholih. Yang syahid, yang qori dan alim, yang kaya dan dermawan. Namun mereka masuk neraka karena bukan diniatkan karena Allah.

Nafas masih berhembus. Masih ada waktu memperbaiki niat.

Beramallah dengan ikhlas. Maka amal yang sedikit sudah cukup bagimu