Yang Muda, Yang Menikah, Yang Berkah

Lahir-sekolah-kuliah-kerja-menikah.

Seolah sudah menjadi standar umum bagaimana hidup di bumi ini.

gambar dari : netnewstimes.com

Masih kecil kok sudah menikah? Gak kuliah dulu? Gak kerja dulu? Kapan jalan-jalannya? Dan yang paling klise menurut saya, Kapan beraktualisasi dirinya? Kapan menerapkan ilmu yang sudah didapat selama sekolah?

Seolah menikah adalah hambatan untuk berkarya.

Dan saya meyakini itu.

Dulu saat SMA, di pelajaran Bahasa Inggris ada debat menggunakan tema ‘Young Marriage’. Kami sekelas dibagi menjadi dua grup, satu pro, satunya lagi kontra. Saya termasuk yang kontra. Dan seingat saya, seluruh kelas kontra, yang akhirnya terpilihlah sebagian orang dengan terpaksa menjadi grup pro.

Kami mulai mati-matian melontarkan argumen mengapa pro dan kontra young marriage. Yang pro, beralasan, kalau sudah terlanjur hamil, ya mau gak mau harus menikah muda. -Di debat ini, saya mendapatkan kosakata baru : pregnant-

Yang kontra, mati-matian beralasan, pokoknya sekolah dulu. Kuliah dulu. Berkarya dulu. Dan itu semua tidak bisa dilakukan jika sudah menikah.

Dan saya termasuk orang yang meyakini itu. Dulu. Dulu, saat diri ini menyangka berenang dalam laut keilmuan, padahal sejatinya berenang dalam kubangan pemendekan akal.

Betapa bodoh dan malas berpikirnya saya. Hingga memutuskan mengikuti yang “baik” hanya dari apa-yang-sedang-keren saat itu. Tanpa mau bersusah-susah merenung lebih dalam, mengkaji lebih luas, apalagi mempelajari lebih banyak dari sudut pandang apa-yang-tertulis-di-KTP, Islam.

Siapa saya yang tidak mengindahkan Al-Qur’an? Bahwa dengan menikah, Allah akan menjadikan kaya lewat karunia-Nya (QS. An Nur : 32)?

Mengapa saya tidak belajar sejarah? Bahwa generasi awal ummat ini menikahkan putra-putri mereka di usia muda. Dan mereka tetap berkarya, yang menjadi acuan sepanjang zaman.

Dan saya baru menyadari, bahwa menikah bukanlah garis finish kita beraktualisasi diri. Justru, akan lebih banyak hal yang bisa kita lakukan, bukan hanya untuk egoisme pribadi, tapi juga untuk keluarga, dan masyarakat. Bukankah itu jauh lebih baik? Dan bukankah akan jauh lebih berkekuatan dan bermakna, saat semuanya dilakukan selagi muda? Tidak ada kenakalan remaja di sana. Yang ada adalah pendewasaan diri. Dan bukankah semua dosa dan pahala akan kita tanggung sendiri saat memasuki usia baligh?

Sekarang, posisi saya sebagai orang tua. Mungkin terlalu dini jika berpikir tentang pernikahan buah hati yang saat ini masih balita. Namun saya yang pernah tenggelam dalam ‘kejahiliahan pemikiran’, tidak akan rela membiarkan buah hati terjerumus dengan kejahiliahan yang sama. Maka sebagai orang tua, saya harus terus belajar dengan rendah hati. Dengan keteguhan niat. Dengan harapan. Yang dengannya Allah akan meneguhkan posisi kami di jalan-Nya, meskipun saat kebanyakan orang berlaku sebaliknya.

DUA DITAMBAH TIGA AYAM BEBEK

“Ma, dua ditambah tiga jadinya berapa?”

“Lima, sayang,” kata mama sambil asyik menonton TV.

“Tidak mungkin,” sahut Mel. Kemudian membawa buku ke hadapan mama.

“Lihat deh, Ma. Ini dua ayam, ditambah tidak bebek, sama dengan berapa?” Mel menunjukkan gambar ayam dan bebek di dalam kotak. Dan di bawah kotak ada angka yang menunjukkan jumlahnya.

“Ya sama dengan lima,” tanpa mengalihkan pandangan dari TV.

“Lima apa? Lima ayam? Mana mungkin, Ma? Masa bebeknya yang 3 jadi ayam?”

Merasa terusik, mama menujukan pandangan ke Mel.

“Mana, mana,”

Mama melihat ke arah buku Mel. Ada gambar ayam dua ekor, di bawahnya tertulis angka “2”. Lalu di sebelahnya ada tanda “plus”. Kemudian gambar bebek tiga ekor, di bawahnya terdapat angka “3”, diikuti dengan tanda “sama dengan”. Lalu ada gambar dua ayam dan tiga bebek dalam satu kotak. Di bawahnya terdapat tulisan cakar ayam angka 23 yang dicoret, dan tertulis angka 5 di sebelahnya.

Mama terkejut, “kenapa Mel jawabnya 23?”

“Iya kan? Dua ayam tiga bebek,” kata Mel sambil menata mainan bebek dan ayamnya.

“Lihat, Ma. Tetap dua ayam tiga bebek. Tidak jadi lima ayam atau lima bebek.”

“Kamu benar, sayang,” ujar mama. Hanya ingin mengakhiri pembicaraan. Bisa panjang urusannya kalau Mel ngeyel.

“Terus, kenapa Bu Guru nyalahin jawabanku?”

Mama bingung. Siapa yang benar. Mel benar. Ayam tidak mungkin jadi bebek atau sebaliknya. Jadi tidak bisa ditambah begitu saja. Lalu apa guru Mel yang salah? Tidak juga. Guru Mel menjawab apa yang memang seharusnya.

“Mungkin Bu Guru mau melihat mainan Mel. Besok bisa dibawa saja. Tunjukkan ke Bu Guru,” pungkas mama.